tester slide

Senin, 10 Februari 2014

OTONOMI DAERAH DAN MASALAH UPAH KERJA

Untuk itu sangat diperlukan adanya penetapan Upah Minimum sebagai upaya melindungi para pekerja atau buruh sehingga upah yang diterimanya dapat menjamin kesejahteraan bagi dirinya maupun keluarganya dan para pekerja atau buruh tidak diperlakukan semena-mena oleh pengusaha yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan dibalik kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh para pekerja atau buruh. Disisi lain perlu diperhitungkan dampak dari penetapan Upah Minimum terhadap peningkatan dan pertumbuhan perusahaan. Penetapan Upah Minimum yang hanya melihat dari sudut kepentingan pekerja atau buruh sangat tidak menguntungkan terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Hal ini dikarenakan adanya dua sisi yang perlu mendapatkan perlindungan secara adil. Pekerja atau buruh sangat membutuhkan upah yang memadai demi pemenuhan kebutuhan hidupnya beserta keluarga namun demikian perusahaan perlu mendapatkan jaminan dalam peningkatan dan pengembangan usahanya.
Tujuan penetapan Upah Minimum ada 2 (dua) yaitu tujuan makro dan tujuan mikro. Tujuan makro ialah berupa :
1.                   Pemerataan, bahwa kenaikan Upah Minimum akan mempersempit kesenjangan antara pekerja/buruh tingkat bawah dan tingkat paling atas.
2.                   Peningkatan daya beli pekerja/buruh. Kenaikan Upah Minimum secara langsung akan meningkatkan daya beli pekerja/buruh yang akan mendorong ekonomi rakyat.
3.                   Perubahan struktur biaya perusahaan. Kenaikan Upah Minimum akan memperbaiki / merubah struktur upah terhadap struktur biaya produksi.
4.                   Peningkatan produktivitas. Peningkatan Upah Minimum akan memberikan insentif bagi pekerja/buruh untuk bekerja lebih giat yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas perusahaan.
Tujuan mikro ialah berupa :
1.      Sebagai jaring pengaman, agar upah terendah tidak semakin merosot.
2.      Mengurangi kesenjangan antara upah terendah dengan upah tertinggi.
3.      Meningkatkan penghasilan pekerja/buruh tingkat terendah.
4.      Meningkatkan etos dan disiplin kerja.
5.      Memperlancar komunikasi antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Setiap proses dalam pasar kerja selalu mendapatkan beberapa proses dalam pendalaman upah kerja. Dimana sinergitas antara tenaga kerja dengan pemerintah perlu adanya beberapa penerapan yang harus sesuai dengan kesepakatan dalam proses untuk mendapatkan kesepakatan antara pekerja dan penyedia kerja. Maka dibentuklah yang dinamakan UU ketenagakerjaan yang mengatur tentang pengupahan para pekerja. Dengan terbitnya UU ini diharapkan ada peran dari pemerintah dalam menetapkan upah minimum untuk para pekerja. Para pekerja ini membutuhkan upah yang layak untuk kehidupan mereka. Namun, hal ini nampak tidak sejalan dengan kenyataannya bahwa para pekerja hari ini masih banyak yang berada dibawah kesejahteraan. Dimana kesejahteraan adalah hal mutlak bagi para seluruh warga negara indonesia sesuai dengan UUD 1945 tentang kesejahteraan. Namun, dalam prakteknya dimana negara hanya memberikan beberapa hal yang harus dipenuhi. Misalnya saja dengan adanya otonomi daerah. Dimana otonomi daerah hanya memberikan beberapa persen dari tingkat kemampuan membayar perusahaan.
Dalam sistem pasar kerja dimana terdapat sistem fleksibelitas yang hadir di Indonesia sebagai sebuah perubahan dalam dunia pasar kerja. Hal yang tidak kurang diperhatikan dalam proponen fleksibelitas di indonesia adalah beberapa tingkat di sektok kesejahteraan masyarakat. Dimana dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan pusat hanya menjadi acuan dalam menetapkan KHL (Kebutuhan Hidup Layak) di daerah. Asas desentralisasi yang diajukan ini mengalami banyak polemik dalam asas upah kerja. Dimana peran pemerintah pusat terasa kecil dibandingkan peran pemerintah daerah atau pemerintah kota. Dalam setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, pemerintah pusat hanya menentukan acuan bagi pemerintah daerah untuk menetapkan KHL tersebut. peran pemerintah pusat ini dirasa tidak mampu untuk mengatasi masalah dari para pekerja. Dimana para pekerja ini mendapatkan kebutuhan layak hidup yang sama. Maksudnya, upah yang diterima oleh seseorang yang masih belum menikah sama dengan seseorang yang telah menikah. Padahal kebutuhan seseorang yang belum menikah dengan yang sudah menikah mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal memenuhi kebutuhan mereka. Namun hal ini nampaknya disamakan oleh para penyedia kerja yang menaungi mereka.
Kemudian, selain dalam hal peninjauan tentang upah buruh juga beberapa alasan yang sangat khusus dalam peraturan pemerintah yang kontroversi bagi serikat-serikat pekerja. Yakni tentang adanya buruh outsourching dan buruh kontrak dalam hal meningkatkan upah para pekerja. Ada beberapa analisa yang dilakukan yang dianggap cocok untuk menyelesaikan masalah-masalah upah kerja ini yakni social pact dan tripartit makalah ini.
Pertama, Social Pact menurut Olle Tornquist menyebutkan bahwa gagasan mengenai social pact sejatinya bukanlah sesuatu yang asing dalam konteks sosial-politik di indonesia. Selayaknya hal ini dapat dirujuk  dalam sejarah politik indonesia dari tahun 1945 dan 1948 dimana telah terjadi kesepakatan yang luas dalam sejumlah kelas dan kelompok yang modern, plural, dan berdasarkan hak, demokrasi, dan berdasar konsep negara-bangsa independent. Pakta sosial memberikan arti sebuah hasil yang didapat dari proses dialog pada level nasional mengenai isu-isu bersama dengan masalah kebijakan sosial dan ekonomi diantara pihak pengusaha, pekerja, dan pemerintah. Pada level ini bisa dijelaskan bagaimana cara mengatasi sebuah masalah yang berada pada tingkatan level nasional tentang Upah Minimum Regional (UMR) dengan mengacu pada KHL yang telah dibuat oleh kementerian tenga kerja dan transmigrasi. Dimana peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat dilaksanakan secara bersamaan. Namun, dalam asas desentralisasi hal ini bisa dikatakan bertentangan karena kebijakan yang diambil bukan lagi dari kebijakan daerah namun kebijakan pusat.
Kemudian dalam menentukan hal ini kebanyakan dalam masyarakat kita sering terjadi perselisihan antara pihak pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Dimana mereka saling menjaga argumen, disatu pihak ingin mendapatkan keuntungan secara ekonomi, sedangkan di pihak lain ingin mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik dalam kebutuhan hidup pekerja. Maka disini, tugas pemerintahlah yang lebih berperan dalam menyelesaikan masalah ini. dimana untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah harus melakukan survei lapangan tentang kebutuhan hidup layak untuk selanjutnya diterapkan pada upah kerja dikalangan regional. Penetapan ini sesuai dengan prosedur penetapan KHL yang terbit pada tahun 2012. Setiap upah kerja harus sesuai dengan kebutuhan setiap pekerja dalam memenuhi kebutuhan ekonomi para pekerja. Sejatinya, kelompok pengusaha ini harus meluruskan pola pikirannya bahwa mereka tidak semata-mata memberikan job market bagi masyarakat namun juga membutuhkan market region. Ketika daya beli masyarakat ini meningkat maka perusahaan juga dapat diuntungkan dari kenaikan dalam membeli barang dari pengusaha ini. inilah yang dinamakan sebagai social multiplier effect. Selain itu, gagalnya atau tidak mulusnya industrial di Indonesia ini juga disebabkan tidak adanya rasa percaya antara pekerja dengan pengusaha. Maka dari itu, kunci utama dalam pembentukan pakta sosial adalah dengan diupayakannya dialog sosial antara pekerja dengan pengusaha.
Kedua, menurut martinussen, dia memberikan dua tipologi besar peran negara dalam hubungannya dengan pandangan-pandangan peran yang dimainkan negara dalam konteks ekonomi dan masyarakat. Dalam hubungannya dengan konteks-konteks yang dijelaskan oleh martinussen, model tripartit mengandaikan negara sebagai mediator sekaligus sebagai pihak yang aktif dan proaktif dalam pengembangan pengupahan pekerja. Model ini digunakan untuk menyelesaikan konflik antara serikat pekerja dengan pengusaha. Dimana peran sebuah negara akan terasa jika hal ini dilakukan. Namun, dalam kenyataannya peran negara tidaklah netral terdapat keberpihakan kekuasan dalam hal ini. negara sangat subjektif terhadap pengusaha-pengusaha besar. Sebetulnya sistem tripartit ini cukup baik untuk meningkatkan kredibilitas negara sebagai kekuasaan tertinggi. Forum tripartit ini hanya sebatas formalitas dan sering menjadi alat legistimasi kekuasaan bagi para penguasa.
Maka dalam model tripartit ini semua pihak haruslah netral dalam setiap keadaan dan saling menghargai kedudukan masing-masing dan jangan sampai pernah diperalat satu sama lain. Agar dalam setiap pengambilan keputusan sebuah forum tidak menjadi alat legistimasi oleh pengusahan. Maka perlu dibangun pola hubungan yang sehat, yaitu sebuah hubungan yang sejajar diantara ketiga pilar tersebut. pekerja punya hak untuk bicara, hak yang sama untuk menyampaikan pendapatnya untuk turut menentukan kebujakan. Jadi, buruh seharusnya diberikan porsi dan kedudukan yang sama, dan bukan menjadi alat legistimasi. Ketika prasyarat ini sudah ada, maka sudah seharusnya semua pihak membuka diri, pekerja tidak bisa lagi ada diluar, pekerja harus masuk ke dalam sistem untuk mengupayakan tripartit ini sebagaimana mestinya. Maka dari itu perlu ada partisipasi para pekerja dalam menentukan kebijakan upah pekerja.
Peran pemerintah dalam menyelesaikan masalah disini sudah sangat jelas untuk tugas dan wewenang dimana pemerintah telah membagi tugas-tugas yang sesuai dengan wewenang dan hak pemerintah dalam memberikan kewenangan dalam otonomi daerah. Secara makro ini dapat memberikan sebuah perubahan yang sangat besar jika ini terlakasana dengan baik. Perusahan juga dapat meningkatkan produktivitas mereka jika kesepakatan antara serikat pekerja dengan serikat pengusaha bisa menjadi tujuan yang sama.
Namun, ditingkat perusahaan juga terjadi dualisme dalam pasar kerja berdasarkan ketrampilan dan status hubungan kerja. Antara lain, pekerja terampil adalah pekerja tetapdengan upah baik dan pekerja tidak terampil adalah pekerja tidak tetap dan upah rendah. Hal inilah yang menjadikan mengapa upah buruh sangat rendah dan tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Biasanya hak pekerja tidak tetap (kontrak maupun outsourcing) hanya mendapatkan upah pokok dan bahkan bisa dibawah upah pokok serta kontrak yang tidak menentu diantara semua upah pokok yang dilakukan oleh perusahaan outsourcing. Hal ini dilakukan oleh perusahaan untuk menekan biaya yang dikeluarkan untuk menjaga stabilitas perusahaan. Hal ini dapat disebabkan karena pragmatisme kebijakan yang diambil juga tercermin dari dilakukan dari kepentingan-kepentingan yang tidak berpihak pada kesejahteraan para pekerja. Para pekerja outsourcing seharusnya memberikan upah minimum yang sesuai dengan Upah Minimum regional yang telah ditetapkan oleh pemerintah kota maupun provinsi.
Maka guna dari sistem tripartit dan pakta sosial ini adalah jalan keluar untuk menyelesaikan masalah yang ada didalam sektor pekerja tentang pengupahan. Dimana dalam setiap pengupahan harus sesuai dengan UU yang dilakukan. Pendulum dari peran pemerintah memang selalu bergerak kearah pengusaha, meskipun dalam konteks otonomi daerah pengusaha juga bukan tidak mengalami komplikasi kinerja aparat negara yang cenderung menurun seiring reformasi di negara Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar