Untuk itu sangat diperlukan adanya
penetapan Upah Minimum sebagai upaya melindungi para pekerja atau buruh
sehingga upah yang diterimanya dapat menjamin kesejahteraan bagi dirinya maupun
keluarganya dan para pekerja atau buruh tidak diperlakukan semena-mena oleh
pengusaha yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan dibalik kelemahan-kelemahan
yang dimiliki oleh para pekerja atau buruh. Disisi lain perlu diperhitungkan
dampak dari penetapan Upah Minimum terhadap peningkatan dan pertumbuhan
perusahaan. Penetapan Upah Minimum yang hanya melihat dari sudut kepentingan
pekerja atau buruh sangat tidak menguntungkan terhadap kelangsungan hidup
perusahaan. Hal ini dikarenakan adanya dua sisi yang perlu mendapatkan
perlindungan secara adil. Pekerja atau buruh sangat membutuhkan upah yang
memadai demi pemenuhan kebutuhan hidupnya beserta keluarga namun demikian
perusahaan perlu mendapatkan jaminan dalam peningkatan dan pengembangan
usahanya.
Tujuan penetapan Upah Minimum ada 2
(dua) yaitu tujuan makro dan tujuan mikro. Tujuan makro ialah berupa :
1.
Pemerataan, bahwa kenaikan Upah Minimum akan
mempersempit kesenjangan antara pekerja/buruh tingkat bawah dan tingkat paling
atas.
2.
Peningkatan daya beli pekerja/buruh. Kenaikan Upah
Minimum secara langsung akan meningkatkan daya beli pekerja/buruh yang akan
mendorong ekonomi rakyat.
3.
Perubahan struktur biaya perusahaan. Kenaikan Upah
Minimum akan memperbaiki / merubah struktur upah terhadap struktur biaya
produksi.
4.
Peningkatan produktivitas. Peningkatan Upah Minimum
akan memberikan insentif bagi pekerja/buruh untuk bekerja lebih giat yang pada
gilirannya akan meningkatkan produktivitas perusahaan.
Tujuan mikro
ialah berupa :
1.
Sebagai jaring pengaman, agar upah terendah tidak
semakin merosot.
2.
Mengurangi kesenjangan antara upah terendah dengan
upah tertinggi.
3.
Meningkatkan penghasilan pekerja/buruh tingkat
terendah.
4.
Meningkatkan etos dan disiplin kerja.
5.
Memperlancar komunikasi antara pekerja/buruh dan
pengusaha.
Setiap
proses dalam pasar kerja selalu mendapatkan beberapa proses dalam pendalaman
upah kerja. Dimana sinergitas antara tenaga kerja dengan pemerintah perlu
adanya beberapa penerapan yang harus sesuai dengan kesepakatan dalam proses
untuk mendapatkan kesepakatan antara pekerja dan penyedia kerja. Maka
dibentuklah yang dinamakan UU ketenagakerjaan yang mengatur tentang pengupahan
para pekerja. Dengan terbitnya UU ini diharapkan ada peran dari pemerintah
dalam menetapkan upah minimum untuk para pekerja. Para pekerja ini membutuhkan
upah yang layak untuk kehidupan mereka. Namun, hal ini nampak tidak sejalan
dengan kenyataannya bahwa para pekerja hari ini masih banyak yang berada
dibawah kesejahteraan. Dimana kesejahteraan adalah hal mutlak bagi para seluruh
warga negara indonesia sesuai dengan UUD 1945 tentang kesejahteraan. Namun,
dalam prakteknya dimana negara hanya memberikan beberapa hal yang harus
dipenuhi. Misalnya saja dengan adanya otonomi daerah. Dimana otonomi daerah
hanya memberikan beberapa persen dari tingkat kemampuan membayar perusahaan.
Dalam sistem
pasar kerja dimana terdapat sistem fleksibelitas yang hadir di Indonesia
sebagai sebuah perubahan dalam dunia pasar kerja. Hal yang tidak kurang
diperhatikan dalam proponen fleksibelitas di indonesia adalah beberapa tingkat
di sektok kesejahteraan masyarakat. Dimana dalam kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintahan pusat hanya menjadi acuan dalam menetapkan KHL (Kebutuhan
Hidup Layak) di daerah. Asas desentralisasi yang diajukan ini mengalami banyak
polemik dalam asas upah kerja. Dimana peran pemerintah pusat terasa kecil
dibandingkan peran pemerintah daerah atau pemerintah kota. Dalam setiap
keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, pemerintah pusat hanya
menentukan acuan bagi pemerintah daerah untuk menetapkan KHL tersebut. peran
pemerintah pusat ini dirasa tidak mampu untuk mengatasi masalah dari para
pekerja. Dimana para pekerja ini mendapatkan kebutuhan layak hidup yang sama.
Maksudnya, upah yang diterima oleh seseorang yang masih belum menikah sama
dengan seseorang yang telah menikah. Padahal kebutuhan seseorang yang belum
menikah dengan yang sudah menikah mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal
memenuhi kebutuhan mereka. Namun hal ini nampaknya disamakan oleh para penyedia
kerja yang menaungi mereka.
Kemudian,
selain dalam hal peninjauan tentang upah buruh juga beberapa alasan yang sangat
khusus dalam peraturan pemerintah yang kontroversi bagi serikat-serikat
pekerja. Yakni tentang adanya buruh outsourching
dan buruh kontrak dalam hal meningkatkan upah para pekerja. Ada beberapa
analisa yang dilakukan yang dianggap cocok untuk menyelesaikan masalah-masalah
upah kerja ini yakni social pact dan
tripartit makalah ini.
Pertama, Social
Pact menurut Olle Tornquist menyebutkan bahwa gagasan mengenai social pact
sejatinya bukanlah sesuatu yang asing dalam konteks sosial-politik di
indonesia. Selayaknya hal ini dapat dirujuk
dalam sejarah politik indonesia dari tahun 1945 dan 1948 dimana telah
terjadi kesepakatan yang luas dalam sejumlah kelas dan kelompok yang modern,
plural, dan berdasarkan hak, demokrasi, dan berdasar konsep negara-bangsa
independent. Pakta sosial memberikan arti sebuah hasil yang didapat dari proses
dialog pada level nasional mengenai isu-isu bersama dengan masalah kebijakan
sosial dan ekonomi diantara pihak pengusaha, pekerja, dan pemerintah. Pada
level ini bisa dijelaskan bagaimana cara mengatasi sebuah masalah yang berada
pada tingkatan level nasional tentang Upah Minimum Regional (UMR) dengan
mengacu pada KHL yang telah dibuat oleh kementerian tenga kerja dan
transmigrasi. Dimana peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat
dilaksanakan secara bersamaan. Namun, dalam asas desentralisasi hal ini bisa
dikatakan bertentangan karena kebijakan yang diambil bukan lagi dari kebijakan
daerah namun kebijakan pusat.
Kemudian
dalam menentukan hal ini kebanyakan dalam masyarakat kita sering terjadi
perselisihan antara pihak pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Dimana mereka
saling menjaga argumen, disatu pihak ingin mendapatkan keuntungan secara
ekonomi, sedangkan di pihak lain ingin mendapatkan kesejahteraan yang lebih
baik dalam kebutuhan hidup pekerja. Maka disini, tugas pemerintahlah yang lebih
berperan dalam menyelesaikan masalah ini. dimana untuk menyelesaikan masalah
ini, pemerintah harus melakukan survei lapangan tentang kebutuhan hidup layak
untuk selanjutnya diterapkan pada upah kerja dikalangan regional. Penetapan ini
sesuai dengan prosedur penetapan KHL yang terbit pada tahun 2012. Setiap upah
kerja harus sesuai dengan kebutuhan setiap pekerja dalam memenuhi kebutuhan
ekonomi para pekerja. Sejatinya, kelompok pengusaha ini harus meluruskan pola
pikirannya bahwa mereka tidak semata-mata memberikan job market bagi masyarakat
namun juga membutuhkan market region. Ketika daya beli masyarakat ini meningkat
maka perusahaan juga dapat diuntungkan dari kenaikan dalam membeli barang dari
pengusaha ini. inilah yang dinamakan sebagai social multiplier effect. Selain itu, gagalnya atau tidak mulusnya
industrial di Indonesia ini juga disebabkan tidak adanya rasa percaya antara
pekerja dengan pengusaha. Maka dari itu, kunci utama dalam pembentukan pakta
sosial adalah dengan diupayakannya dialog sosial antara pekerja dengan
pengusaha.
Kedua, menurut
martinussen, dia memberikan dua tipologi besar peran negara dalam hubungannya
dengan pandangan-pandangan peran yang dimainkan negara dalam konteks ekonomi
dan masyarakat. Dalam hubungannya dengan konteks-konteks yang dijelaskan oleh
martinussen, model tripartit mengandaikan negara sebagai mediator sekaligus sebagai
pihak yang aktif dan proaktif dalam pengembangan pengupahan pekerja. Model ini
digunakan untuk menyelesaikan konflik antara serikat pekerja dengan pengusaha.
Dimana peran sebuah negara akan terasa jika hal ini dilakukan. Namun, dalam
kenyataannya peran negara tidaklah netral terdapat keberpihakan kekuasan dalam
hal ini. negara sangat subjektif terhadap pengusaha-pengusaha besar. Sebetulnya
sistem tripartit ini cukup baik untuk meningkatkan kredibilitas negara sebagai
kekuasaan tertinggi. Forum tripartit ini hanya sebatas formalitas dan sering
menjadi alat legistimasi kekuasaan bagi para penguasa.
Maka dalam
model tripartit ini semua pihak haruslah netral dalam setiap keadaan dan saling
menghargai kedudukan masing-masing dan jangan sampai pernah diperalat satu sama
lain. Agar dalam setiap pengambilan keputusan sebuah forum tidak menjadi alat
legistimasi oleh pengusahan. Maka perlu dibangun pola hubungan yang sehat,
yaitu sebuah hubungan yang sejajar diantara ketiga pilar tersebut. pekerja
punya hak untuk bicara, hak yang sama untuk menyampaikan pendapatnya untuk
turut menentukan kebujakan. Jadi, buruh seharusnya diberikan porsi dan
kedudukan yang sama, dan bukan menjadi alat legistimasi. Ketika prasyarat ini
sudah ada, maka sudah seharusnya semua pihak membuka diri, pekerja tidak bisa
lagi ada diluar, pekerja harus masuk ke dalam sistem untuk mengupayakan
tripartit ini sebagaimana mestinya. Maka dari itu perlu ada partisipasi para
pekerja dalam menentukan kebijakan upah pekerja.
Peran
pemerintah dalam menyelesaikan masalah disini sudah sangat jelas untuk tugas
dan wewenang dimana pemerintah telah membagi tugas-tugas yang sesuai dengan
wewenang dan hak pemerintah dalam memberikan kewenangan dalam otonomi daerah.
Secara makro ini dapat memberikan sebuah perubahan yang sangat besar jika ini
terlakasana dengan baik. Perusahan juga dapat meningkatkan produktivitas mereka
jika kesepakatan antara serikat pekerja dengan serikat pengusaha bisa menjadi
tujuan yang sama.
Namun,
ditingkat perusahaan juga terjadi dualisme dalam pasar kerja berdasarkan
ketrampilan dan status hubungan kerja. Antara lain, pekerja terampil adalah
pekerja tetapdengan upah baik dan pekerja tidak terampil adalah pekerja tidak
tetap dan upah rendah. Hal inilah yang menjadikan mengapa upah buruh sangat
rendah dan tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Biasanya hak
pekerja tidak tetap (kontrak maupun outsourcing)
hanya mendapatkan upah pokok dan bahkan bisa dibawah upah pokok serta kontrak
yang tidak menentu diantara semua upah pokok yang dilakukan oleh perusahaan outsourcing. Hal ini dilakukan oleh
perusahaan untuk menekan biaya yang dikeluarkan untuk menjaga stabilitas
perusahaan. Hal ini dapat disebabkan karena pragmatisme kebijakan yang diambil
juga tercermin dari dilakukan dari kepentingan-kepentingan yang tidak berpihak
pada kesejahteraan para pekerja. Para pekerja outsourcing seharusnya memberikan
upah minimum yang sesuai dengan Upah Minimum regional yang telah ditetapkan
oleh pemerintah kota maupun provinsi.
Maka guna
dari sistem tripartit dan pakta sosial ini adalah jalan keluar untuk
menyelesaikan masalah yang ada didalam sektor pekerja tentang pengupahan.
Dimana dalam setiap pengupahan harus sesuai dengan UU yang dilakukan. Pendulum
dari peran pemerintah memang selalu bergerak kearah pengusaha, meskipun dalam
konteks otonomi daerah pengusaha juga bukan tidak mengalami komplikasi kinerja
aparat negara yang cenderung menurun seiring reformasi di negara Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar