tester slide

Kamis, 25 September 2014

PROSES PENERAPAN KURIKULUM PENDIDIKAN KARAKTER DALAM MENGHADAPI AEC (ASEAN ECOMOMIC COMMUNITY)

Jika melihat berbagai fenomena mengenai sebuah pendidikan tidak lepas dari UU Sisdiknas tahun 2002. Dimana, dalam UU Sisdiknas dijelaskan pada pasal 36 ayat (3) poin e dan f menyatakan bahwa kurikulum disusun sebagai tuntutan pembangunan daerah dan pembangunan daerah (f) tuntutan tenaga kerja (e). Kurikulum yang diorientasikan kedalam sebuah bentuk-bentuk dari beberapa liberalisasi yang dilakukan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pasar. Dalam memberikan pembelajaran memiliki tingkat satuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh kurikulum. Dimana dengan terbentuknya sebuah kurikulum yang sesuai dengan tingkat kebutuhan siswa maka, perlu adanya evaluasi mengenai pemebelajaran yang telah di berikan oleh. Setelah kajian tersebut selesai dilakukan dan instrumen asesmen
perkembangan anak Indonesia dapat tersusun dengan baik untuk menentukan standar perkembangan akhir usia, maka langkah selanjutnya adalah menyusun sistem PAUD berbasis asesmen yang menggunakan pola B-bIO berpenggerak awesome (aware, expose, sinchronize, construct, automize, dan integrate). Sistem PAUD yang berdasarkan pada kesadaran, keterbukaan, ketersinambungan, keterbangunan, keterhayatan, dan keintegrasian dalam standar dalam proses pembelajaran yang sesuai dengan target tingkat pencapaian perkembangan; standar penyediaan dan pengelolaan pendidik maupun tenaga kependidikan; serta standar sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
Dalam pendidikan karakter yang sejatinya telah ditanamkan semenjak dulu, namun dikupas kembali di dalam ranah pendidikan merupakan tuntutan dari dunia pendidikan modern yang mensyaratkan adanya sebuah perencanaan, proses hingga penilaian. Dalam perangkat pembelajran berbasis pendidikan berkarakter tersusun melalui tiga tahapan antara lain, perencanaan, pelaksanaan dan penilaian. Kemudian dalam perencanaan pendidikan berkarakter diharuskan setiap mata pelajaran yang satu mempunyai keterkaitan dengan mata pelajaran yang lain.
Perencanaan disusun agar pembelajaran yang disusun tidak hanya dicerna oleh para siswa namun juga bisa diterapkan oleh para siswa ketika berada dirumah. Harapan dari pembelajaran pendidikan karakter ini merupakan sebuah bentuk dari adanya kearifan lokal yang berada di daerah masing-masing. Sehingga tidak hanya untuk menjadi sebuah acuan bahan pokok untuk merumuskan praktik pembelajaran yang ada dalam pendidikan, namun juga mengajarkan siswa didik untuk siap menghadapi masyarakat. Yang mana hal ini merupakan sebuah bentuk dari bagian pendidikan yang mewajibkan siswa mampu untuk membaur di masyarakat dengan memegang teguh ajaran-ajaran kearifan lokal yang ada. Pendidikan yang merupakan sebuah kebudayaan massa merupakan sebuah pendidikan yang mengajarkan cara dan strategi bertahan hidup yang ada di masyarakat. Tidak hanya melalui belajar mengenai teori-teori yang diberikan namun juga melalui pemahaman-pemahaman siswa yang perlu untuk dipelajari di dunia pendidikan.
Kemudian dengan pemahaman perencanaan pembelajaran diharapkan tenaga didik juga perlu untuk memahami budaya-budaya lokal yang dijadikan sebagai media pembelajaran. Untuk memberi keaktifan siswa didik yang mana dalam perencanaan pembelajaran perlu melihat keaktifan antara guru dan siswa. Harus disadari jika untuk membentuk siswa menjadi manusia yang seutuhnya tidak cukup untuk mengandalkan kegiatan akademik semata. Namun juga melalui kegiatan-kegiatan non akademik, misalkan saja melalui pendidikan ekstrakurikuler sebagai wadah dan bentuk untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sekolah tidak bisa lagi menerapkan cara-cara konvensional yang satu arah, yang tidak merangsang kreativitas para siswa. Maka pengetahuanlah yang akan menjadi semacam panduan bagaimana guru bisa belajar dari orang-orang kreatif dalam dunia pendidikan kita.
Materi Pendidikan Satu Arah
Melalui pendidikan yang dialogis merupakan sebuah pembelajaran mengenai pendidikan yang saling ingin mengetahui di dalam pendidikan di sekolah. Namun, dalam realitasnya pendidikan yang ada disekolah, pendidikan yang dialogis jarang ditemui di sekolah-sekolah yang berada di daerah. Dimana dalam pendidikan yang dialogis memerlukan sebuah kegiatan membaca bahan pembelajaran yang dijadikan sebagai modal untuk mendapatkan pendidikan. Kemudian untuk memberikan pendidikan yang dialogis juga merupakan sebuah pendidikan yang memberikan kesetaraan yang ada. Dimana peran seorang pendidik hanyalah sebagai seorang moderator dalam memberikan sebuah pembelajaran. Sehingga guru tidak hanya menjadi sebuah ideological state apparatus sebagaimana Louis Altusser memberikan pendapatnya. Guru tidak akan memberikan doktrin-doktrin yang menyebabkan siswa tidak bisa menjadi berpikir.
Selain itu, kualitias peningkatan guru perlu dilakukan, dimana ketika kita melihat tenaga pendidik yang ada di sekolah, para pendidik ini dikategorikan menjadi dua golongan. Yang pertama, golongan pegawai negeri sipil dan yang kedua sebagai golongan tenaga didik honorer. Dengan perbedaan yang begitu jauh dari beberapa golongan ini, juga merupakan sebagai penghambat dalam menentukan arah pendidikannya. Jumlah total guru honor di SD Negeri yang tersebar di 33 provinsi mencapai 489.459 orang, dari total 1.441.171 orang guru SD. Terbanyak ada di tiga provinsi itu, yakni  74.697  guru honor di Jabar, 53.870 orang di Jateng,  dan 51.082 orang di Jatim. Dari jumlah data tersebut hanya 34% yang merupakan guru honorer. Sedangkan, dengan tugas yang sama antara guru swasta dengan guru negeri memberikan dampak yang berbeda. Akan lebih baik jika guru swasta tersebut masih memiliki pekerjaan lain selain mengajar di sekolah. Namun akan tidak sebanding jika dengan guru yang tidak memiliki pekerjaan lain. Dengan guru memiliki pekerjaan lain maka kualitas pendidikannya pun juga akan berbeda karena kebanyakan guru lebih berfokus kepada pekerjaan yang lebih menguntungkan.

Adapun biaya pendidikan yang mahal membuat siswa menjadi kurang aktif dalam mengikuti pelajaran. Dimana dengan mahalnya biaya pendidikan memberikan siswa untuk tidak senang dalam mengikuti pelajaran disekolahnya. Selain dalam segi pembiayaan, fasilitas sekolah yang kurang juga akan mempengaruhi kualitasnya. Jika kualitas fasilitas baik maka yang ada adalah mahalnya biaya pendidikan. Meskipun sudah ada biaya pendidikan yang berbentuk bantuan operasional sekolah, nyatanya biaya pendidikan tersebut hanyalah sebagai sebuah bentuk untuk membiayai guru-guru honorer yang ada di sekolah-sekolah negeri. Sedangkan untuk biaya perawatan fasilitas harus ditanggung oleh para siswa melalui biaya tambahan. Dengan mahalnya pendidikan, cenderung kepada mengarahnya pendidikan yang satu arah, yakni pendidikan gaya bank.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar