Jika
melihat berbagai fenomena mengenai sebuah pendidikan tidak lepas dari UU
Sisdiknas tahun 2002. Dimana, dalam UU Sisdiknas dijelaskan pada pasal 36 ayat
(3) poin e dan f menyatakan bahwa kurikulum disusun sebagai tuntutan
pembangunan daerah dan pembangunan daerah (f) tuntutan tenaga kerja (e). Kurikulum
yang diorientasikan kedalam sebuah bentuk-bentuk dari beberapa liberalisasi
yang dilakukan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pasar. Dalam memberikan
pembelajaran memiliki tingkat satuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh
kurikulum. Dimana dengan terbentuknya sebuah kurikulum yang sesuai dengan
tingkat kebutuhan siswa maka, perlu adanya evaluasi mengenai pemebelajaran yang
telah di berikan oleh. Setelah kajian tersebut selesai dilakukan dan instrumen asesmen
perkembangan anak Indonesia dapat tersusun dengan baik untuk menentukan standar
perkembangan akhir usia, maka langkah selanjutnya adalah menyusun sistem PAUD
berbasis asesmen yang menggunakan pola B-bIO berpenggerak awesome (aware,
expose, sinchronize, construct, automize, dan integrate). Sistem PAUD yang
berdasarkan pada kesadaran, keterbukaan, ketersinambungan, keterbangunan,
keterhayatan, dan keintegrasian dalam standar dalam proses pembelajaran yang
sesuai dengan target tingkat pencapaian perkembangan; standar penyediaan dan
pengelolaan pendidik maupun tenaga kependidikan; serta standar sarana dan
prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
Dalam
pendidikan karakter yang sejatinya telah ditanamkan semenjak dulu, namun
dikupas kembali di dalam ranah pendidikan merupakan tuntutan dari dunia
pendidikan modern yang mensyaratkan adanya sebuah perencanaan, proses hingga
penilaian. Dalam perangkat pembelajran berbasis pendidikan berkarakter tersusun
melalui tiga tahapan antara lain, perencanaan, pelaksanaan dan penilaian.
Kemudian dalam perencanaan pendidikan berkarakter diharuskan setiap mata
pelajaran yang satu mempunyai keterkaitan dengan mata pelajaran yang lain.
Perencanaan
disusun agar pembelajaran yang disusun tidak hanya dicerna oleh para siswa
namun juga bisa diterapkan oleh para siswa ketika berada dirumah. Harapan dari
pembelajaran pendidikan karakter ini merupakan sebuah bentuk dari adanya
kearifan lokal yang berada di daerah masing-masing. Sehingga tidak hanya untuk
menjadi sebuah acuan bahan pokok untuk merumuskan praktik pembelajaran yang ada
dalam pendidikan, namun juga mengajarkan siswa didik untuk siap menghadapi
masyarakat. Yang mana hal ini merupakan sebuah bentuk dari bagian pendidikan
yang mewajibkan siswa mampu untuk membaur di masyarakat dengan memegang teguh
ajaran-ajaran kearifan lokal yang ada. Pendidikan yang merupakan sebuah
kebudayaan massa merupakan sebuah pendidikan yang mengajarkan cara dan strategi
bertahan hidup yang ada di masyarakat. Tidak hanya melalui belajar mengenai
teori-teori yang diberikan namun juga melalui pemahaman-pemahaman siswa yang perlu
untuk dipelajari di dunia pendidikan.
Kemudian
dengan pemahaman perencanaan pembelajaran diharapkan tenaga didik juga perlu
untuk memahami budaya-budaya lokal yang dijadikan sebagai media pembelajaran.
Untuk memberi keaktifan siswa didik yang mana dalam perencanaan pembelajaran
perlu melihat keaktifan antara guru dan siswa. Harus disadari jika untuk
membentuk siswa menjadi manusia yang seutuhnya tidak cukup untuk mengandalkan
kegiatan akademik semata. Namun juga melalui kegiatan-kegiatan non akademik,
misalkan saja melalui pendidikan ekstrakurikuler sebagai wadah dan bentuk untuk
meningkatkan kualitas pendidikan. Sekolah tidak bisa lagi
menerapkan cara-cara konvensional yang satu arah, yang tidak merangsang
kreativitas para siswa. Maka pengetahuanlah yang akan menjadi semacam panduan
bagaimana guru bisa belajar dari orang-orang kreatif dalam dunia pendidikan
kita.
Materi Pendidikan Satu Arah
Melalui
pendidikan yang dialogis merupakan sebuah pembelajaran mengenai pendidikan yang
saling ingin mengetahui di dalam pendidikan di sekolah. Namun, dalam
realitasnya pendidikan yang ada disekolah, pendidikan yang dialogis jarang
ditemui di sekolah-sekolah yang berada di daerah. Dimana dalam pendidikan yang
dialogis memerlukan sebuah kegiatan membaca bahan pembelajaran yang dijadikan
sebagai modal untuk mendapatkan pendidikan. Kemudian untuk memberikan
pendidikan yang dialogis juga merupakan sebuah pendidikan yang memberikan
kesetaraan yang ada. Dimana peran seorang pendidik hanyalah sebagai seorang
moderator dalam memberikan sebuah pembelajaran. Sehingga guru tidak hanya
menjadi sebuah ideological state
apparatus sebagaimana Louis Altusser memberikan pendapatnya. Guru tidak
akan memberikan doktrin-doktrin yang menyebabkan siswa tidak bisa menjadi
berpikir.
Selain
itu, kualitias peningkatan guru perlu dilakukan, dimana ketika kita melihat
tenaga pendidik yang ada di sekolah, para pendidik ini dikategorikan menjadi
dua golongan. Yang pertama, golongan pegawai negeri sipil dan yang kedua
sebagai golongan tenaga didik honorer. Dengan perbedaan yang begitu jauh dari
beberapa golongan ini, juga merupakan sebagai penghambat dalam menentukan arah
pendidikannya. Jumlah total guru honor di SD Negeri
yang tersebar di 33 provinsi mencapai 489.459 orang, dari total 1.441.171 orang
guru SD. Terbanyak ada di tiga provinsi itu, yakni 74.697
guru honor di Jabar, 53.870 orang di Jateng, dan 51.082 orang di Jatim. Dari jumlah data
tersebut hanya 34% yang merupakan guru honorer. Sedangkan, dengan tugas yang
sama antara guru swasta dengan guru negeri memberikan dampak yang berbeda. Akan
lebih baik jika guru swasta tersebut masih memiliki pekerjaan lain selain
mengajar di sekolah. Namun akan tidak sebanding jika dengan guru yang tidak
memiliki pekerjaan lain. Dengan guru memiliki pekerjaan lain maka kualitas
pendidikannya pun juga akan berbeda karena kebanyakan guru lebih berfokus
kepada pekerjaan yang lebih menguntungkan.
Adapun
biaya pendidikan yang mahal membuat siswa menjadi kurang aktif dalam mengikuti
pelajaran. Dimana dengan mahalnya biaya pendidikan memberikan siswa untuk tidak
senang dalam mengikuti pelajaran disekolahnya. Selain dalam segi pembiayaan,
fasilitas sekolah yang kurang juga akan mempengaruhi kualitasnya. Jika kualitas
fasilitas baik maka yang ada adalah mahalnya biaya pendidikan. Meskipun sudah
ada biaya pendidikan yang berbentuk bantuan operasional sekolah, nyatanya biaya
pendidikan tersebut hanyalah sebagai sebuah bentuk untuk membiayai guru-guru
honorer yang ada di sekolah-sekolah negeri. Sedangkan untuk biaya perawatan
fasilitas harus ditanggung oleh para siswa melalui biaya tambahan. Dengan
mahalnya pendidikan, cenderung kepada mengarahnya pendidikan yang satu arah,
yakni pendidikan gaya bank.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar